KPMB Bongkar Skandal Korupsi, Pencalonan Moch Anton di Pilkada 2024 Terancam

Malang – Mochammad Anton, mantan Wali Kota Malang periode 2013-2018, kembali menjadi sorotan publik menjelang Pilkada 2024. Meski namanya disebut-sebut sebagai salah satu kandidat, rekam jejak hukum Anton yang terjerat dalam beberapa kasus korupsi besar membuat pencalonannya terancam.

Koalisi Pemuda Malang Bersuara (KPMB) dan berbagai elemen masyarakat menolak kehadiran Anton sebagai calon wali kota, mengingat keterlibatannya dalam skandal korupsi yang telah mencederai integritas Kota Malang.

Selain itu, KPMB juga memastikan masih ada beberapa perkara korupsi yang melibatkan Moch Anton, hingga saat ini belum tuntas, seperti kasus Suap Pembahasan Investasi TPA Supit Urang kemudian penggunaan APBD 1% pada tahun 2015.

“ini temuan kami berdasarkan beberapa putusan dari tindak pidana korupsi tahun 2019, dan kami sudah mengadukan permasalahan ini ke kejati. karena ini sudah berlarut – larut, dan ini Mochamad Anton ikut terlibat” Ungkap Gilang Al Farizki, Presiden KPMB , Kordinator Koalisi Pemuda Malang Bersuara (KPMB), Selasa (10/09/2024).

sehingga kata gilang, moch anton seharusnya tidak hanya di hukum atas kasus Korupsi APBD Kota Malang 2015, melainkan ikut dijatuhi hukuman atas 2 kasus lainnya.

“Kami menganggap kasus ini sangat penting untuk dibuka kembali, karena lagi-lagi akan terus kami sampaikan, karena ini terkait dengan kepastian hukum” tegas Gilang.

Sebelumnya, Koalisi Pemuda Malang Bersuara (KPMB) beberapa waktu lalu telah melakukan pengaduan masyarakat (dumas) ke kejaksaan tinggi Surabaya, Selasa (10/09/2024).

Kemudian, upaya pengaduan sekaligus permintaan klarifikasi  perkara korupsi Investasi TPA Supit Urang kepada Kejaksaan Negri Kota Malang hingga Pengadilan Negeri Kelas IA Kota Malang dan yang terbaru mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jalan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Kamis (12/9/2024).

Awal Mula Skandal Kasus Korupsi Kota Malang

Kasus besar yang menjerat Mochammad Anton bermula pada tahun 2015, ketika ia menjabat sebagai Wali Kota Malang. Anton terlibat dalam pemberian suap kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang untuk memuluskan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Kota Malang Tahun Anggaran 2015.

Dalam skandal tersebut, Anton bersama Cipto Wiyono (Sekretaris Daerah Kota Malang), merencanakan pemberian suap kepada anggota DPRD agar tidak mempersulit pengesahan APBD. Suap sebesar Rp 700 juta diberikan kepada Ketua DPRD Kota Malang, Moch Arief Wicaksono, yang kemudian dibagikan kepada anggota DPRD lainnya.

Untuk mengumpulkan uang suap, Anton memerintahkan pemotongan 1% dari anggaran pembangunan di masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Dana yang terkumpul mencapai Rp 5,5 miliar, yang kemudian diserahkan kepada Moch Arief Wicaksono di kediamannya. Uang tersebut dibagikan kepada unsur pimpinan DPRD dengan nominal yang berbeda, mulai dari Rp 100 juta hingga Rp 125 juta.

Dalam Putusan No. 94/Pid.Sus/TPK/2018/PN.Sby, Anton dinyatakan bersalah atas tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan dijatuhi hukuman 2 tahun penjara. Kasus ini mencerminkan praktik korupsi yang terstruktur dan melibatkan banyak pejabat di Kota Malang, di mana hampir seluruh anggota DPRD Kota Malang ikut terseret dalam skandal suap tersebut.

Kasus “Uang Sampah” dalam Proyek TPA Supit Urang

Selain kasus suap APBD, Mochammad Anton juga terlibat dalam kasus korupsi terkait proyek investasi dan pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang. Pada 13 Juli 2015, Anton melalui Cipto Wiyono memberikan suap sebesar Rp 300 juta kepada Moch Arief Wicaksono untuk melancarkan persetujuan DPRD terhadap proyek TPA Supit Urang.

Dana suap ini, yang dikenal sebagai “uang sampah”, kemudian dibagikan kepada pimpinan dan anggota DPRD. Pimpinan DPRD menerima Rp 10 juta, sementara anggota lainnya menerima Rp 5 juta. Pemberian uang ini merupakan bagian dari strategi Anton untuk memastikan proyek TPA tidak mendapatkan hambatan dalam pembahasannya di DPRD​(Dumas Kejati AA).

Peran Anton dalam kasus ini kembali terbukti dalam Putusan No. 67/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Sby, di mana ia bersama-sama dengan Cipto Wiyono terbukti memberikan suap kepada DPRD. Kasus ini menambah deretan skandal yang membayangi kepemimpinan Anton sebagai Wali Kota Malang.

“Kami mempertanyakan kejelasan tindak lanjut dari putusan perkara korupsi dengan Nomor 67/Pid.Sus-TPK/2019/PN Sby yang melibatkan terdakwa Cipto Wiyono. Hingga saat ini, status kasus ini masih belum jelas dan mengambang,” terang Gilang.

Dalam persidangan, terungkap bahwa Moch Arief Wicaksono, Ketua DPRD, meminta uang kepada Cipto Wiyono agar proyek ini berjalan tanpa hambatan. Moch Anton, yang menyadari. kemudian Ia meminta Cipto Wiyono untuk mengurus pengumpulan uang suap, yang kali ini melibatkan pengusaha Daniel sebagai calon pengelola proyek.

Daniel diminta menyerahkan uang sebesar Rp300 juta kepada Cipto Wiyono, yang kemudian diteruskan kepada Moch Arief Wicaksono. Uang tersebut dibagikan kepada pimpinan dan anggota DPRD untuk memastikan bahwa proyek TPA Supit Urang disetujui. Pada 14 Juli 2015, proyek tersebut akhirnya disetujui DPRD dan dituangkan dalam Keputusan DPRD Nomor 188.4/46/35.73.200/2015.

 

Dampak Hukum dan Peluang Pencalonan

Kasus-kasus korupsi yang melibatkan Mochammad Anton memiliki dampak besar terhadap peluangnya untuk mencalonkan diri kembali di Pilkada 2024. Berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024, Pasal 14 Ayat (2) huruf F, seorang mantan narapidana yang dihukum atas kasus dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Dalam kasus ini, Anton terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi yang memiliki ancaman hukuman lebih dari 5 tahun.

Meski Anton hanya dijatuhi hukuman 2 tahun penjara, jenis kejahatan yang dilakukannya, yaitu korupsi, masuk dalam kategori yang melarangnya untuk maju sebagai calon wali kota. Jika KPU Kota Malang tetap meloloskan pencalonan Anton, hal ini akan dianggap sebagai pelanggaran terhadap aturan hukum yang jelas.

“tujuan kami untuk mengantisipasi kasus 2018 terulang lagi kami tidak ingin muncul lagi istilah korban politik khususnya masyarakat” Ujar Gilang

Penolakan Masyarakat dan Aliansi Mahasiswa Kota Malang

Reaksi keras terhadap pencalonan Mochammad Anton juga datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Aliansi Mahasiswa Kota Malang Peduli Demokrasi. Aliansi ini menolak dengan tegas calon kepala daerah yang memiliki rekam jejak sebagai narapidana kasus korupsi. Mereka menilai bahwa pencalonan Anton merupakan kemunduran moral bagi Kota Malang, yang selama ini dikenal sebagai Kota Pendidikan​.

Dalam pernyataan sikap mereka, Aliansi Mahasiswa Kota Malang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang untuk menegakkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 dengan konsisten dan tidak meloloskan calon dengan latar belakang korupsi. Jika KPU tetap meloloskan Anton, mereka berkomitmen untuk terus mengawal proses demokrasi di Kota Malang melalui aksi-aksi protes dan kampanye publik.

(wendy)

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *