Harapan Moch Anton Maju Pilkada 2024, Terbentur Aturan Hukum

 

source : instagram

Jatimid.com – Wacana pencalonan kembali Mochammad Anton dalam Pilkada yang dijadwalkan berlangsung pada November 2024, masih menjadi topik hangat di kalangan publik. Pria yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anton ini harus menghadapi beberapa kendala hukum terkait statusnya sebagai mantan terpidana kasus korupsi pada tahun 2018.

Salah satu kendala utama yang dihadapi Abah Anton adalah masa jeda lima tahun yang harus dilewati oleh seorang mantan terpidana untuk dapat kembali menggunakan hak politiknya dan mencalonkan diri dalam Pilkada. Ketentuan ini tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 56/PUU-XVII/2019.

Dr. Prija Djatmika, S.H., M.S., seorang pakar hukum pidana dari Universitas Brawijaya (UB), menyoroti pentingnya peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Malang untuk memberikan penjelasan yang jelas kepada publik terkait pencalonan Abah Anton. Menurut Dr. Prija, pencalonan tersebut harus merujuk pada putusan pengadilan sebelumnya serta Putusan MK yang berlaku.

“Ada perbedaan yang signifikan antara putusan pengadilan dan Putusan MK. Dalam putusan pengadilan, hak politik Abah Anton dicabut selama dua tahun, yang berarti ia bisa mencalonkan diri sejak 2022. Namun, Putusan MK menyatakan bahwa seorang mantan terpidana baru bisa mencalonkan diri setelah lima tahun selesai menjalani hukuman penjara,” jelas Dr. Prija.

Jika mengacu pada Putusan MK, lanjut Dr. Prija, Abah Anton yang bebas pada tahun 2020 baru bisa mencalonkan diri paling cepat pada tahun 2025. Ini menimbulkan dilema antara mengikuti putusan pengadilan atau Putusan MK. Namun, dari sudut pandang hukum, Putusan MK yang memiliki kedudukan setara dengan undang-undang seharusnya menjadi acuan utama.

Lebih lanjut, Dr. Prija menekankan pentingnya mengikuti asas hukum ‘erga omnes’ yang berarti keputusan tersebut mengikat semua pihak. Oleh karena itu, jika berpegang pada Putusan MK, maka jelas Abah Anton belum memenuhi syarat untuk mencalonkan diri dalam Pilkada tahun ini.

“Pada dasarnya, keputusan Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan lebih tinggi dan mengikat secara universal. Dengan kata lain, Abah Anton harus menunggu hingga 2025 sebelum dapat kembali berkompetisi di Pilkada,” tegas Dr. Prija.

Dengan adanya asas ‘lex superior derogate lex inferior’, peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Hal ini juga didukung oleh asas ‘lex posterior derogat legi priori’, di mana peraturan baru mengesampingkan yang lama. Hingga kini, Putusan MK nomor 56/PUU-XVII/2019 belum dibatalkan atau digantikan oleh peraturan lain, sehingga Abah Anton belum memenuhi syarat hukum untuk mencalonkan diri kembali.

(wendy)

Related Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *